Edulactica

Edulactica

• Online

+389 75 457 282

Call or Message

Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan ‘Hantu’ Pembengkakan Biaya: Belajar dari Proyek

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), yang kini dikenal sebagai Whoosh, merupakan salah satu proyek infrastruktur terbesar dan paling ambisius di Indonesia pada abad ini. Proyek ini dijanjikan sebagai lompatan modernisasi transportasi, mempersingkat waktu tempuh antara dua kota metropolitan. Namun, perjalanan proyek ini jauh dari mulus. Sejak awal, proyek ini dihantui oleh tantangan finansial besar, terutama fenomena yang dikenal sebagai pembengkakan biaya (cost overrun) yang signifikan.

Awalnya, proyek ini dirancang dengan model Business-to-Business (B2B) tanpa jaminan APBN. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai masalah teknis dan non-teknis menyebabkan estimasi biaya melonjak drastis dari perencanaan awal. Pembengkakan ini memaksa pemerintah untuk mengubah kebijakan pendanaan, yang akhirnya melibatkan suntikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keterlibatan APBN ini menjadi sorotan utama dan memicu perdebatan publik mengenai kelayakan proyek.

Salah satu penyebab utama pembengkakan biaya adalah masalah pembebasan lahan yang kompleks dan berlarut-larut. Nilai ganti rugi yang meningkat, sengketa, dan keterlambatan dalam proses akuisisi lahan memaksa jadwal konstruksi mundur. Keterlambatan ini bukan hanya menghabiskan waktu, tetapi juga meningkatkan biaya material dan tenaga kerja karena penyesuaian inflasi dan perpanjangan masa konstruksi.

Tantangan teknis di lapangan juga turut berkontribusi besar. Konstruksi di wilayah Bandung, khususnya yang melibatkan terowongan dan jembatan tinggi, menghadapi kondisi geologis yang sulit dan tak terduga. Penemuan lapisan tanah yang tidak stabil atau perluasan cakupan pekerjaan struktural untuk menjamin keamanan dan umur panjang rel cepat, secara otomatis menaikkan anggaran operasional dan bahan baku yang dibutuhkan.

Fenomena pembengkakan biaya pada KCJB menjadi pelajaran penting bagi perencanaan proyek infrastruktur besar di masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa studi kelayakan (feasibility study) harus dilakukan dengan lebih komprehensif dan realistis, mencakup analisis risiko geologis, sosial, dan finansial yang paling pesimistis sekalipun. Prediksi biaya yang terlalu optimis sejak awal sering kali menjadi akar masalah cost overrun.

Selain masalah pembiayaan, tantangan lain adalah manajemen risiko dan koordinasi. Proyek sebesar ini melibatkan banyak pemangku kepentingan, dari kontraktor, pemerintah daerah, hingga lembaga pembiayaan dari luar negeri. Kurangnya koordinasi yang mulus dan perubahan desain di tengah jalan dapat menciptakan inefisiensi dan memperparah kebutuhan anggaran tambahan yang tidak terprediksi sebelumnya.

Dari sisi keuangan, proyek ini juga menunjukkan pentingnya kontrak yang jelas dan alokasi risiko yang adil. Ketika risiko seperti fluktuasi mata uang atau perubahan regulasi tidak dialokasikan secara transparan, dampaknya akan ditanggung oleh entitas yang paling lemah, yang pada akhirnya dapat kembali membebani kas negara. Mitigasi risiko finansial harus menjadi fokus utama sejak tahap pra-konstruksi.

Kehadiran KCJB, terlepas dari tantangan keuangannya, telah membawa dampak ekonomi dan sosial yang nyata, termasuk pembukaan lapangan kerja dan percepatan mobilitas. Namun, pembelajaran terpenting dari proyek ini adalah pengawasan yang lebih ketat, transparansi anggaran, dan komitmen kuat terhadap studi kelayakan yang berhati-hati sebelum memulai proyek infrastruktur raksasa berikutnya.